Minggu, 15 Juni 2014

Primbon donit: (TERBRANGUSNYA SUARA PERS) Kasus Obor Rakyat dan Kebebasan Berpendapat

Primbon donit
 
Economist GMAT Tutor.

The results you want. The flexibility you need. Claim your 7-day free trial today.
From our sponsors
(TERBRANGUSNYA SUARA PERS) Kasus Obor Rakyat dan Kebebasan Berpendapat
Jun 15th 2014, 07:13, by primbondonit


 (TERBRANGUSNYA SUARA PERS)

Kasus Obor Rakyat 
dan Kebebasan Berpendapat
Tim hukum dari capres dan cawapres Jokowi-Jusuf Kalla akan melaporkan pihak tabloid Obor Rakyat ke Mabes Polri karena diduga melakukan pencemaran nama baik dan memfitnah capres Jokowi. "Hari Senin jam 10.00 WIB kami akan ke Mabes Polri untuk melaporkan Obor Rakyat," ujar anggota tim hukum Jokowi-JK, Alexander Lay, di Media Center Jokowi-JK, Jakarta Pusat, Sabtu (14/6). Menurut dia, pihaknya akan melaporkan Pemimpin Redaksi Obor Rakyat Setiyardi Budiono dan si penulis, Dharmawan. Selain mereka berdua, kubu Jokowi juga akan menyeret semua yang terlibat di dalam Obor Rakyat.

"Mereka akan dilaporkan atas tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah. Tabloid tersebut fiktif dan sengaja diterbitkan dan diedarkan jelang pilpres dan memfitnah Jokowi," katanya. Alex berharap Mabes Polri akan menindaklanjuti laporannya dan mampu menghentikan praktik-praktik kampanye hitam yang menghalalkan segala cara. "Namun, dengan terbongkarnya Obor Rakyat, elektabilitas Jokowi kembali naik," tuturnya, seberti diberitakan Antara.


Sebelumnya, pembuat tabloid Obor Rakyat, yang berisi sejumlah tudingan berbau SARA kepada capres Joko Widodo alias  Jokowi dan PDIP perlahan mulai terungkap. Pelaku terungkap bukan dari hasil penyelidikan Badan Pengawas Pemilu atau pihak kepolisian. 

Terkait soal pencemaran nama baik, publik pun seakan diingatkan kembali dengan kasus penuntutan sebuah rumah sakit kepada Prita Mulyasari, yang pada pemilihan legislatif 2014 lalu adalah calon anggota legislatif dari PDIP. Prita dituding telah melakukan melakukan pencemaran nama baik rumah sakit tersebut dan sejumlah dokternya. Kasus Prita mencuat beberapa tahun lalu.

Banyak yang mengajukan protes, karena kasus itu mengancam kemerdekaan orang untuk berekspresi dan bersikap kritis, terutama terhadap pejabat publik dan pelayanan publik. Karena, bila ada orang atau pihak yang kurang berkenan terhadap ekspresi dan sikap kritis kita, kita bisa di-"prita"-kan, dipidanakan dengan tuntutan pencemaran nama baik. Demikian secara garis besar pemikiran dan argumentasi para pemrotes itu.

Di republik ini sendiri banyak peraturan yang menjadi payung hukum bagi kasus pencemaran nama baik. Setidaknya ada empat aturan hukum untuk itu, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektokronik (ITE), Undang-Undang Penyiaran, dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Dalam sebuah kesempatan, aktivis hak asasi manusia yang pernah menjadi Koordinator Divisi Hak Asasi Manusia Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Anggara, mengatakan, "Pidana pencemaran nama baik sudah terbukti menjadi senjata ampuh untuk membungkam kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, dan kemerdekaan pers di Indonesia."

Dengan menyadari risiko akan hilangnya kebebasan warga sipil karena adanya aturan hukum seperti itulah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa tahun lalu juga menyerukan kepada pemerintah dari negara-negara anggotanya untuk menghapus aturan pidana pencemaran nama baik. Bahkan, setiap tahun, Komisi Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi PBB mengeluarkan seruan serupa itu: hapuskan kriminalisasi kasus pencemaran nama baik. Apalagi, di Indonesia, sampai kini belum ada definisi hukum yang tepat tentang apa yang disebut sebagai pencemaran nama baik. 

Mestinya, kasus pencemaran nama baik masuk ke perkara perdata, bukan pidana. "Tapi, okelah, kalau itu memang belum bisa kita terima, cukuplah diatur oleh KUHP. Itu pun dengan menghilangkan ancaman hukuman penjaranya. Bukan malah diduplikasi atau justrui ditriplikasi lewat berbagai aturan lain," ujar Anggara.

Tidak ada negara hukum di dunia ini yang punya delik penghinaan, yang diatur di banyak tempat, seperti di Indonesia, tambah Anggra Di negara-negara maju saja, meski ada juga yang mengatur soal delik penghinaan, aturan hanya ada dalam satu ketentuan, yakni di aturan semacam KUHP. "Itu pun tidak pernah digunakan. Karena, orang lebih memilih jalur perdata. Kan, buat apa mengirimkan orang ke penjara? Mending hartanya saja disita. Jadi, kerugian akibat penghinaan dimaterialkan dalam bentuk uang," ungkap Anggara.

Di Amerika Serikat, misalnya, tidak dikenal pertanggungjawaban pidana untuk tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan. Karena, itu dianggap bertentangan dengan First Amandement dalam konstitusi Amerika Serikat, yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Di Belanda, negara tempat kelahiran KUHP dan KUH Perdata Indonesia, ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam perangkat perundang-undangannya pun telah berubah, seperti pernah diungkapkan profesor hukum dari University of Amsterdam, Jan de Meij, dalam sebuah kesempatan. "Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP Belanda telah berubah sejak tahun 1978," kata Jan de Meij. Kalaupun ada tuntutan pidana, biasanya hukuman yang diberikan adalah denda, bukan pidana penjara.

Menurut ahli perbandingan hukum internasional, Toby Daniel Mendel, sanksi pidana untuk kasus pencemaran nama baik memang sudah tidak relevan lagi di dunia modern. "Banyak negara sudah meninggalkan ketentuan itu dan menggantinya dengan sanksi perdata. Sanksi pidana dinilai tidak proporsional dan berlebihan untuk menghukum suatu tindak pencemaran nama baik," ungkap Toby Daniel Mendel dalam keterangannya sebagai ahli pada sidang uji materi terhadap KUHP terkait pasal pencemaran nama baik yang diajukan dua pekerja pers pada tahun 2008 silam.

Bagi Toby Daniel Mendel, kebebasan berpendapat adalah dasar sebuah negara demokrasi. Sebagai hak dasar, kebebasan ini bisa saja dibatasi, asalkan dilakukan secara sah. Pembatasan harus dilakukan dengan undang-undang, memiliki tujuan yang sah, atau untuk melindungi tujuan yang sah. Namun, pembatasan harus dilaksanakan secara hati-hati dan tidak boleh memiliki efek membunuh, yang membuat orang menjadi tidak berani mengemukakan pendapatnya.

Dalam KUHP Indonesia sendiri, pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang. Ketentuannya terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP, khususnya pada pasal 310, 311, 315, 317, dan pasal 318. Pasal pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang secara umum diatur dalam pasal 310, pasal 311 ayat (1), pasal 315, pasal 317 ayat (1), dan pasal 318 ayat (1). Pada semua pasal itu, ancaman hukuman penjaranya di bawah lima tahun. 

Berbeda halnya dengan delik penghinaan yang ada dalam beberapa undang-undang, yang ancaman hukumannya di atas lima tahun. Karena itu, Anggara menduga pembuatan undang-undang yang mencantumkan kembali delik penghinaan atau pencemaran nama baik itu—padahal sudah diatur dalam KUHP—sarat kepentingan. "Kita lihat saja, delik judi yang di KUHP mendapat ancama hukuman penjara 10 tahun, eh, di Undang-Undang ITE malah turun ancamannya menjadi 6 tahun. Aneh, bukan? Jadi, sebenarnya, pembuatan undang-undang itu untuk kepentingan siapa? Untuk melindungi siapa?" tutur Anggara. 

Sementara itu, untuk delik penghinaan, dalam KUHP cukup jelas aturannya dan lebih melindungi ketimbang aturan di berbagai undang-undang itu. "Dalam KUHP itu, ada unsur di "depan umum" untuk bisa menjerat orang dengan delik penghinaan, tapi kalau di undang-undang lainnya tidak ada itu. Jadi, kalu kita kirim e-mail ke seorang teman kita, misalnya, dan teman kita itu tidak senang dan merasa terhina dengan apa yang kita tulis dalam e-mail itu, dia bisa mengadukan kita dengan tuduhan penghinaan atau pencemaran nama baik, dengan memakai Undang-Undang ITE," ujar Anggara. 

Yang lebih repot lagi, karena ancaman hukuman untuk delik penghinaan dalam tiga undang-undang itu enam tahun penjara, orang bisa kehilangan banyak hak sipilnya selama-lamanya. "Kan, tidak lucu, gara-gara kirim e-mail ke seorang teman dan teman itu merasa terhina, kita dipenjara selama enam tahun, sehingga kehilangan banyak hak sipil kita. Kita tidak bisa menjadi advokat, tidak bisa menjadi polisi, tidak bisa menjadi hakim, pegawai negeri sipil, tidak bisa menjadi presiden, dan sebagainya, gara-gara pernah dihukum selama enam tahun," kata Anggara. 

Undang-Undang Pemerintahan Daerah lebih konyol lagi. Di sana, ungkap Anggara, bahkan calon kepala daerah saja tidak boleh dikritik. Yang mengkritik bisa dijerat dengan delik penghinaan. "Dalam kampanye tidak boleh menghina seseorang, calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah, dan partai politik. Kan beda tipis antara kritik dan penghinaan. Beberapa ahli hukum memang ada yang berpendapat, yang dipidanakan itu bukan mengkritiknya, tapi menghinanya. Lalu, bagaimana membedakan keduanya? Dalam hukum pidana kan mesti ada aturannya. Tapi, ini kan sulit, karena perasaan orang per seorangan kan sangat subyektif, tidak terukur. Itulah sebabnya PBHI menolak soal penghinaan ini," tutur Anggara lagi. 

Ada yang berpendapat, yang dimaksud "menghina" dalam KUHP adalah "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang". Yang diserang biasanya merasa malu. "Kehormatan" yang diserang di sini maksudnya hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan sexual. Namun, Anggara tidak sependapat, terutama bila menyangkut pejabat publik. Bagi Anggara, pejabat publik wajib "ditelanjangi". "Karena, mereka dipilih oleh masyarakat. "Bahkan, pada tingkat calon pun harus bisa ditelanjangi, karena kan mereka akan memimpin negara ini dalam beberapa tahun ke depan. Kalau tidak bisa seperti itu, kita akan mendapat informasi apa dari mereka?" tuturnya. Apalagi, tambah Anggara, para penyelenggara negara dibayar oleh masyarakat melalui pajak. Karena itu, masyarakat berhak mengawasi jalannya penyelenggaraan negara. "Artinya, semua aspek kehidupan mereka otomatis dibayar oleh masyarakat," kata Anggara.

Namun, pejabat publik kita dengan adanya beberapa undang-undang yang memuat delik penghinaan itu jelas-jelas dilindungi. Berbeda halnya dengan di negara maju, yang warga negaranya bisa mengawasi para pejabat negara bahkan ke ruang yang dianggap pribadi. Di Inggris, misalnya, beberapa tahun lampau Menteri Dalam Negeri Jacqui Smith menyatakan mundur. Ia mengundurkan diri karena kabarnya ia menggunakan uang tunjangan parlemen yang ia dapatkan untuk membayar tagihan penyewaan film porno yang dilakukan suaminya. "Itu kan sebenarnya masalah pribadi. Tapi, karena dia pejabat negara, dia tidak boleh sewenang-wenang menggunakan uang rakyat, walaupun itu gajinya. Karena itu, partai politik, pejabat publik, anggota DPR itu wajib hukumnya ditelanjangi, karena merekalah yang menjalankan amanat negara," ungkap Anggara lagi. Bahkan, kata Anggara, di negara-negara maju, pejabat publik pun tidak boleh menggunakan gugatan perdata untuk kasus yang ia anggap sebagai pencemaran nama baik atau penghinaan. "Bisa dikatakan, pejabat publik itu sudah tidak punya lagi kehidupan pribadi," tutur Anggara.


//// Sumber : ////

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

Tidak ada komentar:

Posting Komentar